Buntut dari pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum, atas perkara pemberangusan hak berserikat, di Bank Mandiri, terus terjadi. Kali ini, pegawai Bank Mandiri menerima slip gaji, yang tidak seperti biasanya. Slip gaji tersebut disertai dengan catatan, bahwa slip gaji tersebut tidak untuk diberitahukan kepada siapapun, dan tidak boleh memberitahukan kepada siapapun perihal adanya sanksi yang diberikan Bank Mandiri atas 300 pegawainya, akibat keberanian mereka memprotes kebijakan Manajemen Bank Mandiri yang dipimpin oleh Agus Martowardojo, dengan cara unjuk rasa.
Kebijakan intimidatif Bank Mandiri,dibuktikan dengan peringatan dalam slip gaji, semakin mempertegas pola kepemimpinan Agus Martowardojo yang sangat tidak peka terhadap hak hak manusia, dalam hal ini adalah hak berserikat, dan hak mengemukakan pendapat. Peringatan melalui catatan dalam slip gaji ini, juga menegaskan sikap anti serikat pekerja.
Intimidasi yang dilakukan secara terus menerus oleh Manajemen Bank Mandiri terhadap pegawainya, adalah bentuk pemberangusan dan menghalang-halangi kebebasan berserikat. Pasal 28 Undang Undang No. 21 Tahun 2000, tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja, menegaskan siapapun dilarang untuk menghalang halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh. Pernyataan dalam slip gaji, setelah sebelumnya beragam sanksi dikenakan oleh Manajemen Bank Mandiri terhadap aktivis Serikat Pekerja Bank Mandiri, mengindikasikan bahwa Bank Mandiri telah melanggar ketentuan Pasal 28 Undang Undang No. 21 Tahun 2000.
Protes melalui unjuk rasa, adalah hak politik yang melekat pada setiap orang, dan juga melekat pada serikat pekerja. Hal ini, telah disepakati pemerintah Indonesia, dengan meratifikasi konvensi International Labor Organization (ILO) No. 87 tentang kebebasan berserikat dan hak untuk berorganisasi, melalui Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998. Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementrian Negara Urusan Badan Usaha Milik Negara dan Departemen Tenaga Kerja, tidak boleh tinggal diam. Mendiamkan pemberangusan aktivitas serikat pekerja, adalah bentuk pelanggaran atas konvensi ILO ini.
Manajemen Bank Mandiri yang tidak transparan, termasuk dalam penentuan tinggi rendahnya gaji pegawai, serta adanya pemborosan anggaran, dalam hal ini diperuntukkan untuk kepentingan transportasi dan untuk kepentingan perumahan direksi Bank Mandiri, meski tidak ditempati, adalah hal tersendiri yang meresahkan bagi pegawai Bank Mandiri. Serta berakibat buruk pada upaya pemerintah untuk mewujudkan akuntabilitas publik atas Badan Usaha Milik Negara.
Intimidasi yang terjadi atas pegawai bank Mandiri, juga mengindikasikan bahwa selama ini bentuk ruang aspirasi yang diberikan oleh Manajemen Bank Mandiri, hanya sebuah kiasan belaka. Para pegawai yang memiliki saham di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, juga tidak diperkenankan hadir dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan alasan Pegawai Bank Mandiri yang memiliki saham di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, diwakili oleh kepala unit kerja yaitu Group Head dan Regional Manager sebagaimana diatur dalam Surat Edaran No. 003/UMM/CHC.HMC/2008.
Hal ini sangat bertentangan dengan semangat yang tertuang dalam Pasal 75 ayat (1) UU No 40 Tahun 2007 yang menyatakan ”RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan komisaris, dalam batas Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar”. Direksi dan Komisaris Bank Mandiri juga melanggar Pasal 23 AD/ART PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk yang menyatakan ”tiap-tiap saham memberikan hak kepada pemegangnya untuk mengeluarkan 1 (satu) suara”.
Oleh karena itu, kami meminta :
1. Manajemen Bank Mandiri untuk mengembalikan hak 300 orang pegawai Bank Mandiri, secara penuh, dan memberikan ganti kerugian atas tindakan intimidatif yang dilakukan Manajemen PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk;
2. Secara tegas kepada Manajemen PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk untuk memberikan ruang kepada para pegawai yang memiliki saham untuk dapat mengikuti RUPS BANK MANDIRI;
3. Kementrian Negara Urusan BUMN, sebagai pemegang saham mayoritas,untuk mengevaluasi kepemimpinan Agus Martowardojo, dalam kaitannya dengan kebijakan Sumber Daya Manusia dan transparansi kebijakan, termasuk kebijakan penganggaran dan penggajian;
4. Departemen Tenaga Kerja untuk merevitalisasi fungsinya sebagai Badan Pengawas Ketenagakerjaan, termasuk menjamin perlindungan pelaksanaan hak berserikat lengkap dengan segala aktivitasnya;
5. Segala bentuk intimidasi, terhadap aktivis serikat pekerja, akibat aktivitas berserikat, dihentikan segera.
Senin, 23 Mei 2011
Peran Perbankan Syariah dalam Pemberdayaan UMKM
Telah menjadi pengetahuan banyak pihak bahwa peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam perekonomian Indonesia begitu penting. Sektor UMKM nasional dikenal memiliki karakteristik positif seperti sektor yang menyerap tenaga kerja yang besar, mengakomodasi peran masyarakat miskin dan dominan dalam struktur ekonomi. Berdasarkan data terakhir yang diperoleh, sektor tersebut memiliki jumlah pelaku usaha yang mencapai 51,3 juta unit usaha atau memiliki kontribusi sebesar 99%! Menyerap tenaga kerja 90,9 juta pekerja (97%)! Menyumbang PDB sebesar Rp2.609 triliun (55,6%)! Serta memberikan sumbangan devisa sebesar Rp183,8 triliun (20%)!
Dengan ruang-lingkup usaha yang dominan beraktifitas di lingkungan ekonomi domestik, tidak mengherankan sektor UMKM selalu tampil menjadi “pahlawan” bagi perekonomian negeri ini, ketika ekonomi nasional berhadapan dengan badai krisis keuangan yang juga kerap menghantam ekonomi global. Oleh sebab itu, sangat beralasan sekali jika pemerintah dan pihak-pihak terkait mengambil posisi terdepan dalam mendorong sektor ini berkembang dengan lebih baik. Bagaimana dengan kontribusi industri perbankan syariah nasional terhadap pertumbuhan sektor UMKM?
Dengan data perkembangan UMKM yang tadi telah diungkapkan, ditambah dengan kenyataan bahwa populasi mayoritas penduduk indonesia beragama Islam yang merefleksikan pula kondisi populasi mayoritas dunia usaha di sektor UMKM, sepatutnya perbankan syariah bisa memberikan kontribusi yang signifikan pada sektor tersebut. Apalagi, diyakini praktek perbankan syariah beserta produknya sangat sesuai dengan nature dunia usaha sektor UMKM. Jika melihat data dan kinerja pembiayaan perbankan syariah kontribusi itu pada dasarnya sudah jelas terlihat.
Sejauh ini dengan kekuatan 11 bank umum syariah (BUS), 23 unit usaha syariah (UUS) dan 151 bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS), yang memiliki jaringan kantor mencapai 3.073 unit, perbankan syariah nasional telah menunjukkan perannya. Pembiayaan BUS dan UUS pada sektor UMKM diakhir tahun 2010 telah mencapai Rp52,6 triliun atau porsinya (share) sebesar 77,1% dari seluruh pembiayaan yang diberikan BUS dan UUS ke sektor usaha. Pada akhir tahun 2010 itu, pertumbuhan pembiayaan bagi UMKM tersebut mencapai 46,8% atau pertumbuhannya melebihi pertumbuhan total pembiayaan industri perbankan syariah itu sendiri. Sementara jumlah rekening pembiayaan bagi UMKM mencapai lebih dari 600 ribu rekening atau porsinya mencapai 69,3% dari total rekening pembiayaan perbankan syariah.
Keberpihakan bank syariah pada sektor UMKM ditunjukkan pula dengan berbagai strategi pembiayaan oleh masing-masing bank syariah secara individu, seperti pembukaan pusat-pusat pelayanan pembiayaan mikro seperti gerai UKMM atau sentra UMKM. Berdasarkan data pembiayaan sektoralnya, saat ini pembiayaan UMKM perbankan syariah terkonsentrasi pada pembiayaan di sektor retail (31,1%), jasa usaha (29,3%) dan perdagangan (13,2%). Eksposur pembiayan sektoral UMKM perbankan syariah identik atau sama dengan eksposur total pembiayaan industri.
Kinerja perbankan syariah diatas belum termasuk kontribusi 151 BPRS yang tersebar di 22 provinsi Indonesia. BPRS dengan karakteristik kapasitas yang relatif kecil dan spesifik melayani pelaku usaha di komunitas-komunitas kecil masyarakat, sudah tentu hampir seluruh kemampuan penyediaan pembiayaannya di salurkan pada sektor UMKM. Berdasarkan data pada akhir 2010 fungsi intermediasi BPRS bagi sektor UMKM tampak berjalan cukup optimal, hal ini ditunjukkan dengan angka FDR yang mencapai 128,5%. Meski pembiayaan bermasalah BPRS relatif lebih tinggi di bandingkan kinerja BUS dan UUS yaitu sebesar 6,5%, namun dalam periode 3 tahun terakhir angka pembiayaan bermasalah menunjukkan kecenderungan yang menurun. Pada skala usaha yang tidak jauh berbeda dan ruang lingkup pelayanan yang juga relatif sama, dalam melayani masyarakat UMKM, BPRS ditemani oleh lembaga keuangan non-bank syariah yang saat ini berkembang tidak kalah tingginya, yaitu Baitul Mal wa Tamwil (BMT). BMT merupakan berbadan usaha koperasi yang kini dikenal dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), yang jumlahnya kini diperkirakan telah mencapai lebih dari 3000 unit.
Namun meski kontribusi perkembangannya cukup besar, sektor UMKM bukannya tumbuh tanpa memiliki masalah. Masalah di sektor UMKM relatif begitu kompleks, dari masalah SDM, akses modal, budaya usaha, tingkat penguasaan teknologi maupun kemampuan manajemen. Sudah menjadi pengetahuan umum dimana tingkat pendidikan mayoritas pelaku usaha UMKM cukup rendah, budaya usaha yang belum terbangun baik ketika usaha yang dilakukan berdasarkan usaha turun temurun, pengelolaan dana usaha yang bercampur dengan keuangan rumah tangga dan lain sebagainya. Hal ini yang tengah dibenahi oleh pihak-pihak terkait secara berkesinambungan. Khusus untuk mengatasi masalah akses modal di sektor UMKM, saat ini bank syariah telah melakukan kerjasama dalam penyaluran pembiayaan ke sektor tersebut. Kerjasama tersebut berupa kerjasama pembiayaan yang menggunakan konsep linkage, dimana bank syariah yang lebih besar menyalurkan pembiayaan UMKM-nya melalui lembaga keuangan syariah yang lebih kecil, seperti BPRS dan BMT. Hal ini dilakukan karena memang jangkauan bank syariah besar yang belum menjangkau pelosok-pelosok sentra masyarakat usaha kecil atau lembaga keuangan syariah yang kecil lebih menyentuh langsung dengan pelaku usaha UMKM.
Skema pembiayaan linkage yang dilakukan bank syariah dengan BPRS atau BMT dapat berupa channeling, executing atau joint financing. Skema channeling menempatkan BPRS atau BMT sebagai intermediator BUS/UUS dengan pelaku UMKM. Sedangkan skema executing dilakukan ketika BUS/UUS menyediakan pendanaan yang dapat dimanfaatkan oleh BPRS atau BMT dalam pembiayaan mereka ke nasabah UMKM-nya. Sementara itu, skema joint financing adalah skema dimana BUS/UUS dan BPRS/BMT bekerja sama dalam memberikan pembiayaan pada pelaku UMKM. Disamping itu, akhir-akhir ini terbentuk juga kerja sama bank-bank syariah dengan lembaga-lembaga terkait dalam memecahkan masalah lain yang menghantui dunia UMKM, seperti masalah budaya usaha, tingkat penguasaan teknologi dan kemampuan manajemen. Bank syariah bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan atau pengelola dana sosial dalam upaya meningkatkan budaya kerja, kemampuan manajemen UMKM dan penguasaan teknologi. Hal tersebut dilakukan dalam bentuk program-program pembinaan nasabah. Pembinaan nasabah khususnya bagi nasabah UMKM telah menjadi faktor yang krusial dalam rangka menjaga pembiayaan UMKM yang berkualitas baik.
Pada masa yang akan datang diharapkan lebih banyak pihak mampu memberikan kontribusinya yang signifikan dalam mendorong peran perbankan syariah di sektor UMKM ini. Pada sisi sektor UMKM, diperlukan upaya perbaikan sarana atau infrastruktur, baik berupa infrastruktur yang bersifat fisik maupun non-fisik, agar sektor tersebut mampu berproduksi dan berkinerja dengan efisien. Perbaikan atau pembenahan sektor UMKM pada gilirannya diharapkan mampu menekan persepsi risiko tinggi yang melekat pada sektor tersebut. Sedangkan pada sisi perbankan syariah diperlukan peningkatan pengetahuan dan keahlian bankir syariah pada dunia UMKM di semua sektornya. Dengan begitu, diharapkan kontribusi perbankan syariah dapat lebih maksimal, misalnya pembiayaan perbankan syariah tidak hanya terkonsentrasi pada sektor retail, jasa usaha dan perdagangan saja dari UMKM tetapi juga sektor potensial lainnya, khususnya sektor produktif seperti sektor pertanian dan manufaktur.
BI Berharap Akademi Ciptakan Banyak SDM Syariah

Untuk memenuhi kebutuhan SDM Perbankan Syariah, Bank Indonesia (BI) terus melakukan sosialisasi kepada para akademik. Kali ini di Jawabarat BI mengadakan sosialisasi kepada para praktisi pendidikan dan akademik untuk memenuhi permintaan dari perkembangan perbankan syariah yang semakin pesar.
Dalam Sosialisasi tersebut dibuka oleh Direktur Perbankan Syariah BI cabang Jawa Barat Gunawan Setiawan dengan dihadiri oleh 50 dosen perwakilan PT di Jawa.
Dikesempatan itu, Gunawan Setiawan, mengatakan pertumbuhan perbankan syariah semakin pesat tapi disatu sisi terkendala dengan permasalahan sumber daya manusia (SDM). “Permasalahan-permasalahan tersebut yang ingin kami sinergikan dengan lembaga PT,”ujarnya.
Ia mengakui, perkembangan industri perbankan syariah harus seiring dengan jumlah SDM yang ada jika ini tak terpenuhi pengembangan perbankan syariah akan mengalami kemunduran.
Senada dengan Gunawan, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Sofyan Safri Harahap, mengatakan saat diperlukan SDM yang berkualitas yang dapat memenuhi pertumbuhan perbankan syariah selain itu perlu menciptakan trainer-trainer di bidang pendidikan terutama pada kampus yang mampu mengajak umat untuk menggunakan sistem ekonomi syariah.
Baginya, sangat terasa sekali kebutuhan SDM Syariah sangat sedikit sekali yang kualitatif di Industri tersebut, disaat pertumbuhan perbankan syariah semakin pesat. Terbukti dengan banyak permintaan dari terbukannya Perbankan dan Unit Syariah di Indonesia. “Oleh karena itu, para dosen menjadi ujung tombak untuk mendidik para calon SDM yang bergelut dalam ekonomi Syariah,”
Permasalahan Bank Century

Setelah setahun bailout LPS masuk ke Bank Century, hasil audit BPK akhirnya membongkar adanya ‘pat-gulipat’ dalam pengelolaannya. Kasus ini diharapkan bisa terbongkar dengan transparan demi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional.
Gagal mengikuti kliring pada tanggal 13 November 2008 menjadi awal dari terbongkarnya berbagai penipuan di Bank Century. Walau obat penawar sudah dikucurkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui dana talangan (bailout), namun hingga setahun berselang, bank yang kini berganti nama menjadi Bank Mutiara itu belum jua sembuh. Uang nasabah tetap tidak kembali, uang negara malah ikut raib. Kasus ini pun melebar ke area politik. Sementara beberapa nama petinggi negara ikut terseret-seret.
Gagal kliring itu sendiri karena Bank Century kekurangan dana di Bank Indonesia (BI) sebagai syarat mengikuti kliring. Sementara penyebab awal persoalan keuangan di bank ini menurut hasil pemeriksaan, adalah adanya surat berharga valuta asing (valas) bank ini yang bermasalah. Surat berharga yang dibeli pada 2003 yang seluruhnya (sekitar US$203,4 juta) diterbitkan oleh bank asing itu tergolong macet karena tidak memiliki rating.
Berawal dari situ, berbagai kebobrokan bank ini, termasuk dalam kegiatannya akhirnya terbongkar. Misalnya, diketahuilah bahwa dana cadangan bank ini di BI sudah di bawah saldo minimal. Di samping itu, selama ini bank ini ternyata melakukan penjualan reksadana walau tidak mempunyai izin. Bahkan, salah satu reksadana itu merupakan reksadana ‘bodong’. Alias, dibuat tanpa seizin Badan Pengawas Penanaman Modal (Bapepam). Reksadana tersebut dijual dengan nama Investasi Dana Tetap Terproteksi dan dikeluarkan oleh PT. Antaboga Delta Sekuritas.
Belakangan dikabarkan, sekitar Rp 1 triliun - 1,5 triliun uang nasabah terkena masalah seputar produk yang dikabarkan sudah dijual sejak tahun 2001 itu. Uang itu diberitakan mengalir ke rekening Robert Tantular sebagai pemilik bank dan rekannya di Antaboga.
Modus kasus yang boleh disebut pembobolan secara sistematis ini adalah dengan cara mengiming-imingi para nasabah dengan bunga tinggi di atas bunga deposito yang berlaku saat itu. Nasabah yang percaya, akhirnya memindahkan dananya dari Bank Century ke rekening Antaboga yang ada di Century juga. Setelah dana masuk ke rekening Antaboga, uang itu kemudian ditarik oleh Robert. Selain melalui cara itu, pembobolan dengan modus pinjaman juga dilakukan Robert. Yaitu, beberapa kredit dikucurkan manajemen lama ke berbagai nama yang ternyata ujungnya ke Robert juga. Untuk berbagai tindakan itu, pengadilan telah menghukum Direktur Utama PT Bank Century Tbk, Hermanus Hasan Muslim, tiga tahun penjara. Sementara Robert Tantular sebagai Direktur Utama PT Century Mega Investama dijerat hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp50 miliar. Namun, dengan dihukumnya mereka itu, tidak sendirinya menyelesaikan masalah bank ini. Karena seperti disebutkan di atas, kasus bailout Rp 6,7 triliun telah menyeret berbagai instansi dan oknum.
Kasus bailout sendiri berawal dari masalah kesulitan likuiditas dan modal Bank Century. Untuk mengatasi masalah keuangan itu, pada tanggal 15 Oktober 2008, bank central sebenarnya telah memerintahkan tiga pemegang saham mayoritas bank ini, yakni Robert Tantular, Rafat Ali Rizfi, dan Hesyam Al Waraq menandatangani letter of commitment yang isinya memuat janji ketiganya untuk membayar surat berharga yang jatuh tempo dan menambah modal bank. Selain itu, mereka juga berjanji mencari investor baru untuk menyelesaikan permasalahan bank paling lambat 31 Maret 2009. Namun, mereka tidak menepati janjinya sehingga Bank Century tidak bisa memenuhi kewajibannya pada nasabah.
Melihat kenyataan demikian, BI akhirnya memberikan fasilitas pendanaan jangka pendek pada bank ini sebesar Rp502 miliar pada 14 November 2008. Seiring dengan itu, BI juga kembali memerintahkan Robert, Hesyam dan Rafat menepati komitmennya yang dituangkan kemudian dalam letter of commitment pada 16 November 2008. Surat itu antara lain berisi komitmen untuk memindahkan surat berharga Bank Century ke bank kustodian di Indonesia, mengembalikan hasil pembayaran surat berharga yang jatuh tempo dan tidak akan menjaminkan surat berharga ke pihak lain. Tapi, letter of commitment ini juga tidak ditepati. BI pun kembali mengucurkan fasilitas pendanaan jangka pendek sebesar Rp187 miliar pada 18 November 2008.
Lantaran kondisi Bank Century makin memburuk, pada 21 November 2008 penanganan bank itu pun akhirnya diserahkan pada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pada saat itu juga, LPS menyuntikkan dana Rp2,77 triliun agar kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Century 10 persen. Kemudian pada 5 Desember 2008, LPS kembali menyuntikkan dana Rp2,20 triliun untuk memenuhi tingkat kesehatan bank. Ketiga, pada 3 Februari 2009 LPS memberi lagi dana sebesar Rp1,15 triliun. Dan keempat, pada 21 Juli 2009 LPS kembali menyuntikkan dana sebesar Rp630 miliar. Jadi, total LPS telah menyuntikkan dana Rp6,7 triliun kepada Bank Century setelah pengelolaan bank tersebut diambil alih.
Alasan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Menkeu, BI, dan LPS melakukan penyertaan modal sementara di bank ini melalui LPS, selain mengganti manajemen bank, karena BI menilai kondisi yang dialami Bank Century saat itu bisa berdampak sistemik yang bisa menimbulkan penyebaran masalah ke bank lainnya.
Dari segi legalitas, pengambilalihan pengelolaan Bank Century ini diperbolehkan sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum. PBI ini merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perppu JPSK).
Namun kasus ini menjadi ramai karena setahun setelah LPS menalangi dan memasuki manajemen Bank Century, bank ini belum juga bisa sehat. Sebaliknya, permasalahan makin melebar hingga area politik, bahkan menyeret beberapa nama pejabat.
Pada Kamis (27/8/09) misalnya, Komisi XI DPR 2004-2009 telah memanggil Menkeu Sri Mulyani, pejabat BI, dan LPS untuk dimintai keterangan terkait lonjakan suntikan modal yang diberikan LPS. Dalam rapat itu, DPR menanyakan dasar hukum dikeluarkannya dana tambahan senilai Rp5,4 triliun kepada Bank Century, karena pemerintah awalnya hanya meminta persetujuan Rp1,3 triliun. Sementara itu, anggota dewan juga curiga atas ketidakjelasan pencairan deposito nasabah-nasabah tertentu. Dimana ada perlakuan khusus terhadap nasabah tertentu, sementara nasabah lainnya harus rela berdemo, tapi itu pun tetap terabaikan.
Menjawab pertanyaan anggota dewan, Menkeu Sri Mulyani, yang terkesan ingin membela diri menjelaskan kronologis penyelamatan Bank Century. Menurutnya, pada 13 November 2008, BI yang ketika itu masih dipimpin oleh Boediono mengundang dirinya untuk rapat konsultasi. Rapat itu berlanjut pada 16 November 2008, khusus membicarakan persoalan Bank Century. Kemudian 20 November 2008, BI menyampaikan surat bernomor 10/232/GBI/Rahasia tentang Penetapan Status Bank Gagal Bank Century dan penanganan tindak lanjutnya kepadanya. Di dalam surat itu, BI mengusulkan langkah penyelamatan Bank Century oleh LPS sesuai dengan Pasal 18 Perpu Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Dengan dasar itulah kemudian pada 21 November 2008, rapat KSSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal dan menyerahkannya ke LPS. Hal itu diputuskan karena BI menyatakan, jika tidak ditangani dengan benar maka akan berdampak sistemik.
Sementara itu, Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani mengatakan, lembaganya terpaksa menyertakan modal sebesar Rp6,7 triliun karena sebagian deposan-deposan besar yang telah jatuh tempo tidak lagi bertahan di Bank Century. Dia mengakui, 60 persen dari total suntikan modal kepada bank tersebut digunakan untuk membayar deposan yang telah jatuh tempo.
Berbagai penjelasan pemerintah saat itu tidak begitu saja diterima oleh DPR. Dewan pun kemudian meminta BPK melakukan audit investigasi atas penyertaan modal pemerintah melalui LPS ke Bank Century yang membengkak menjadi Rp6,7 triliun. belakangan, sesuai hasil audit BPK yang diserahkan ke DPR tertanggal 23 Nov 2009 menunjukkan adanya paling tidak lima bagian dugaan pelanggaran di dalam kasus Bank Century yang dilakukan oleh pemilik lama, BI, hingga KKSK.
Mulai dari proses merger tiga bank menjadi Bank Century, tidak tegasnya BI terhadap pelanggaran Bank Century selama tahun 2005-2008, hingga pengucuran dana bailout.
Melihat tanda-tanda tidak adanya perbaikan di bank ini, pengucuran dana triliunan itu pun semakin marak dipertanyakan publik. Apalagi, sebenarnya tidak ada landasan hukum yang sah bagi LPS untuk melanjutkan pengucuran dana setelah Perpu JPSK ditolak DPR pada tanggal 18 Desember 2008.
Untuk mendorong penyelesaian kasus ini, dari anggota DPR bahkan sempat terdengar usulan agar kewenangan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum yang dibentuk Presiden untuk menyelesaikan kasus Bibit dan Chandra (Tim 8) diperluas, termasuk untuk masalah Century, karena awal kisruh di KPK dengan Polri juga disebutkan berawal dari kasus Century terkait pencairan deposito valuta asing sebesar AS$ 18 juta milik Boedi Sampoerna yang menyeret nama Kabareskrim Susno Djuaji.
Di DPR sendiri, diprakarsai oleh Fraksi PDIP muncul usulan menggunaan hak angket untuk masalah ini. Setelah hasil audit BPK keluar, angket yang telah resmi diusulkan kepada pimpinan DPR itu belakangan didukung oleh semua fraksi, setelah sebelumnya Fraksi Partai Demokrat tidak mengambil sikap. Bahkan, sempat empat Wakil Ketua DPR telah menandatangani usulan tersebut, namun Ketua DPR Marzuki Alie yang dari Partai Demokrat tidak bersedia membubuhkan tandatangan.
Sementara itu, Wakil Presiden Boediono sendiri pun sebelumnya telah menyatakan kesediaannya memberikan keterangan mengenai kasus ini. Menyimak apa yang terjadi dalam kasus ini, wajar jika timbul banyak pertanyaan pada pemerintah dan BI sebagai pemegang otoritas moneter. Antara lain, bagaimana bisa sampai terjadi sebuah bank menjual reksadana tanpa mempunyai izin sebagai Agen Penjual Reksadana (APERD)? Bahkan, bagaimana sebuah reksadana ‘bodong’ bisa lolos dari pengawasan Bapepam? Bagaimana pertanggungjawaban BI sebagai pengatur dan pengawas lembaga perbankan. Kenapa pula pemerintah tetap ngotot menggunakan Perppu yang sudah ditolak oleh DPR? Dan pertanyaan terbesar adalah, apakah kasus ini hanya terjadi pada Bank Century, atau justru merupakan cerminan perbankan nasional?
Berbagai pertanyaan itu hendaknya bisa terjawab dengan keluarnya hasil audit BPK. Pemerintah pun diharapkan jujur membuka masalah ini agar kepercayaan publik terhadap perbankan nasional tidak terganggu.
Langganan:
Postingan (Atom)